Monday, July 10, 2006

Ma Chère Nièce

Abil… nama itu selalu membuat hatiku tersenyum. Ia adalah keponakanku yang baru berumur 2.5 tahun. Wajah mungil dengan mata bocahnya selalu meruntuhkan hati orang untuk memenuhi keinginannya, meskipun kadang-kadang keinginan itu tidak masuk akal. Kaki kecilnya tidak pernah bisa berjalan normal seperti layaknya orang berjalan, melainkan selalu berlarian kesana kemari. Larinya sangat cepat untuk ukuran anak seumurnya. Kalau tidak sedang berlari tentu dia sedang memanjat, atau berkhayal menjadi ibu bagi boneka-bonekanya yang berjibun. Mulutnya tidak pernah bisa diam, kalau tidak berkicau ya mengunyah. Meski demikian, tubuhnya lebih sering kurus daripada gendut, maklum dia banyak menghabiskan energinya untuk berlari-larian.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10. Begitulah Abil menghitung. Dia sudah cukup lama bisa menghitung sampai 10. Tapi jangan coba-coba memamerkannya di depan orang lain, soalnya dia nggak suka disuruh-suruh.

"Tik tik tik bunyi hujan di atas gedung..." Abil juga senang sekali nyanyi. Penguasaan lagunya sangat cepat. Baru mendengar satu atau dua nada intro dia akan bisa langsung mengenali lagunya. “Lagu Elo,” begitu komentarnya suatu kali saat mendengar lagu di televisi. Sementara aku sendiri masih belum mengenali lagunya. Pernah suatu kali ia menangis sesenggukan karena tidak seorangpun di rumah yang hapal lagunya Samson. Ah.. Abil… Abil… sudah lama aku tidak mengikuti perkembangan trend ABG jaman sekarang. Gara-gara kamu aku jadi seneng lagi mendengarkan lagu-lagu baru.

Abil adalah satu-satunya keponakanku yang kuperkenankan bermain-main di kamarku. Dia senang sekali ikut aku ‘dandan’ sebelum aku berangkat ke kantor. Biasanya ia akan menghabiskan lotionku. Tapi ia juga gampang dikasih tahu, jika ada kosmetikku yang aku tidak setuju ia pakai. “Itu untuk orang gede ya… nggak boleh” begitu katanya.

Abil bisa jadi sangat jutek sama orang lain. Kalau tampang juteknya sudah keluar, tampang tantenya yang kata orang jutek banget kalah deh. Di rumah, dia paling sering jutek sama puangnya. Nggak tau kenapa. Tapi coba menjelang waktu belanja bulanan, dia akan bermanis-manis sama puangnya yang satu itu.

“kumaha atuuuhh?...” Karena keluarga ayahnya adalah orang Sunda tulen, sedikit banyak Abil terpengaruh dalam penggunaan bahasa Sunda sehari-harinya. Lucu sekali kalau mendengarkan ia menggunakan ungkapan bahasa Sunda lengkap dengan aksen yang sangat ‘nyunda’ itu. “Nini.. nu hejo nya?” atau “kaditu we..”. Yang lucu adalah bagaimana ia menginterpretasikan makna ‘hese’. Abil seneng sekali ngatain orang lain dengan ungkapan “meni hese”. Tapi begitu ungkapan itu dibalik ke dia, “Abil meni hese ih”. Dia akan menjawabnya dengan, “Abil nggak hese, Abil cantik”.

…”Nini… nini…” Tiba-tiba pintu kamarku terbuka, dan seraut wajah kecil muncul di pintu. ..ah… lamunanku terganggu… “Nini lagi apa nini?”… tapi gangguan yang menyenangkan..