Monday, July 10, 2006

Gerimis itu Terasa Indah..

Gerimis itu terasa indah. Seperti lagu yang dinyanyikan Vina Panduwinata “… diujung kemarau panjang, yang gersang dan menyakitkan, kau datang menghantar berjuta kesejukan…”
Gerimis kali ini, meskipun bukan di ujung kemarau panjang, menghantar berjuta kesejukan ke dalam hatiku.

Gerimis itu terasa indah. Entah kenapa, aku memang suka sekali akan hujan. Hujan memberiku rasa nyaman, damai, dan melankolis. Aku senang sekali memandang titik-titik hujan yang membasahi rumput yang hijau, atau menghirup bau tanah yang segar karena tersiram hujan, seraya membiarkan pikiranku berkelana.

Gerimis itu terasa indah. Tapi tidak bagi banyak temanku yang tidak suka hujan. “Becek dan ribet,” begitu alasan mereka. Bagiku itu hanya masalah antisipasi. Jadi, becek sedikit tidak masalah bagiku, asal jangan banjir, meskipun yang terakhir ini sering sekali terjadi di kotaku.

Gerimis itu terasa indah. Aku merasakan perasaan itu. Setelah hari yang penuh dengan sinar matahari yang membakar, setelah mengerjakan tugas yang bertumpuk-tumpuk di meja, setelah seharian bertatapan muka dengan layar monitor, setelah menjalani hari yang penuh dengan perdebatan dan ketegangan, gerimis yang sejenak membasahi sore itu terasa indah. Meskipun sejenak, tetapi cukup menyejukkan hatiku.

Gerimis itu terasa indah. Aku selalu berharap bertemu kembali dengannya esok hari. Semoga gerimisku tidak akan pernah pupus oleh debu yang menghujani kotaku, semoga gerimisku tidak takut kepada teriknya matahari, sehingga ia dapat menjumpaiku kapanpun ia mau.


~untuk ia yang selalu menemani khayalanku saat gerimis turun

Jangan Biarkan...

Jangan biarkan mereka merenggut kebahagiaanmu!
Hidupmu adalah milikmu
Langkahmu adalah milikmu
Kebahagiaanmu adalah milikmu

Biarkan senyum itu terlukis di wajahmu
Biarkan rasa itu terpatri di hatimu
Biakan ceria itu terbayang di rautmu
Biarkan langkah itu membawamu kemana pun kau pergi

Tinggalkan duka itu
Buang jauh kepedihan itu
Hadapi hidup di depanmu
Tinggalkan mereka di belakangmu
Jangan biarkan mereka merenggut kebahagiaanmu!


~untuk diriku

Ma Chère Nièce

Abil… nama itu selalu membuat hatiku tersenyum. Ia adalah keponakanku yang baru berumur 2.5 tahun. Wajah mungil dengan mata bocahnya selalu meruntuhkan hati orang untuk memenuhi keinginannya, meskipun kadang-kadang keinginan itu tidak masuk akal. Kaki kecilnya tidak pernah bisa berjalan normal seperti layaknya orang berjalan, melainkan selalu berlarian kesana kemari. Larinya sangat cepat untuk ukuran anak seumurnya. Kalau tidak sedang berlari tentu dia sedang memanjat, atau berkhayal menjadi ibu bagi boneka-bonekanya yang berjibun. Mulutnya tidak pernah bisa diam, kalau tidak berkicau ya mengunyah. Meski demikian, tubuhnya lebih sering kurus daripada gendut, maklum dia banyak menghabiskan energinya untuk berlari-larian.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10. Begitulah Abil menghitung. Dia sudah cukup lama bisa menghitung sampai 10. Tapi jangan coba-coba memamerkannya di depan orang lain, soalnya dia nggak suka disuruh-suruh.

"Tik tik tik bunyi hujan di atas gedung..." Abil juga senang sekali nyanyi. Penguasaan lagunya sangat cepat. Baru mendengar satu atau dua nada intro dia akan bisa langsung mengenali lagunya. “Lagu Elo,” begitu komentarnya suatu kali saat mendengar lagu di televisi. Sementara aku sendiri masih belum mengenali lagunya. Pernah suatu kali ia menangis sesenggukan karena tidak seorangpun di rumah yang hapal lagunya Samson. Ah.. Abil… Abil… sudah lama aku tidak mengikuti perkembangan trend ABG jaman sekarang. Gara-gara kamu aku jadi seneng lagi mendengarkan lagu-lagu baru.

Abil adalah satu-satunya keponakanku yang kuperkenankan bermain-main di kamarku. Dia senang sekali ikut aku ‘dandan’ sebelum aku berangkat ke kantor. Biasanya ia akan menghabiskan lotionku. Tapi ia juga gampang dikasih tahu, jika ada kosmetikku yang aku tidak setuju ia pakai. “Itu untuk orang gede ya… nggak boleh” begitu katanya.

Abil bisa jadi sangat jutek sama orang lain. Kalau tampang juteknya sudah keluar, tampang tantenya yang kata orang jutek banget kalah deh. Di rumah, dia paling sering jutek sama puangnya. Nggak tau kenapa. Tapi coba menjelang waktu belanja bulanan, dia akan bermanis-manis sama puangnya yang satu itu.

“kumaha atuuuhh?...” Karena keluarga ayahnya adalah orang Sunda tulen, sedikit banyak Abil terpengaruh dalam penggunaan bahasa Sunda sehari-harinya. Lucu sekali kalau mendengarkan ia menggunakan ungkapan bahasa Sunda lengkap dengan aksen yang sangat ‘nyunda’ itu. “Nini.. nu hejo nya?” atau “kaditu we..”. Yang lucu adalah bagaimana ia menginterpretasikan makna ‘hese’. Abil seneng sekali ngatain orang lain dengan ungkapan “meni hese”. Tapi begitu ungkapan itu dibalik ke dia, “Abil meni hese ih”. Dia akan menjawabnya dengan, “Abil nggak hese, Abil cantik”.

…”Nini… nini…” Tiba-tiba pintu kamarku terbuka, dan seraut wajah kecil muncul di pintu. ..ah… lamunanku terganggu… “Nini lagi apa nini?”… tapi gangguan yang menyenangkan..

Akhirnya...

Akhirnya aku memutuskan untuk menulis di blog-ku sendiri! Setelah sekian lama bergelut dengan perasaan antara ingin menulis, bingung dengan apa yang akan ditulis, dan kesulitan menyisihkan waktu untuk menulis. Mungkin ini juga didorong oleh keakrabanku kembali dengan internet akhir-akhir ini. Tapi mungkin juga ini didorong oleh kebutuhanku untuk mencurahkan pikiranku ke dalam tulisan, dan waktu luang di malam hari, saat dunia sudah terlelap dan acara TV serta alunan lembut musik jazz tidak mampu mengusir insomniaku.

Mengenai tema, aku sudah berketetapan untuk tidak pusing mengenai hal ini. Biarlah pikiranku yang memang suka meloncat-loncat ini tercurah begitu saja tanpa dibatasi ini dan itu.